11 Agustus 2010. Tepat sebulan yang lalu, kisah biasa saja bila terjadi di masa mudaku ini, ternyata bisa kusebut “terrible day”diusaiaku sekarang ini.
Pk 12.25 WITENG, bel sekolah berbunyi, bergegas aku bubarkan anak didikku, dan langsung menyandang tas, karena meja kerja sudah kubereskan sebelumnya, setengah berlari aku menuju motorku untuk keinginan segera pulang dan bertemu dengan dua kecilku di rumah. Entah kenapa siang itu aku kangeeeen sekali dengan mereka. Tapi tidak seperti biasa, disiang dengan matahari terik itu, aku mengenakan jaket tebal dan mengencangkan ikatan helmku. Tidak ada firasat apapun, meski kangen berat dengan anak-anak, aku tidak ngebut dengan motorku, aku justru kontrol sekali dengan gas dan berjalan dengan kecepatan 25km/jam dan selalu berada dibahu jalan yang tepat. Traffic begitu padat, karena memang jam pulang anak sekolah.
Dalam hitungan detik, aku sempat memperhatikan motor merah dari arah berlawanan dan dibahu jalan yang berlawanan berjalan oleng, dan ….Braaaaakkk ! aku tidak sempat menginjak rem ataupun membanting stir. Tiba-tiba saja “Blugg” aku terjatuh dengan keras meralas pantat sebelah kiri, dan darah menggenang dari kaki kananku. Serta merta kuraba seluruh badanku dan membuat tanda salib …”Ah…Tuhan…Aku tidak apa-apa” begitu gumanku diantara kata “aduhh” menahan perih tak terkira dari kaki kananku. Badanku mulai tremmor imbas dari bantingan keras, tapi aku segera sadar dan mencari penyebabnya, tanpa mengindahkan keadaanku, aku mencari-cari motor merah yang tadi menghantam keras motorku dari sebelah kanan. Aku melihat motor merah dengan pengemudinya yang bangun dari jatuhnya dan siap menunggang kembali motornya. Spontan aku berteriak meminta orang-orang menahannya, sementara seorang bapak, tukang bangunan, yang akhirnya kuketahui bernama Pak Simon, menenangkan aku dan menekan kaki kananku untuk tidak bergerak, takutnya patah tulangnya.
“buk…” satu pukulan hebat melayang di pipi kanan sipengendara motor merah. Kunci kontak si merah segera berpindah tangan ke orang yang lain, dan aku tidak lagi memperhatikannya, Pak simon dengan 3 temannya, segera mengajak teman-teman nya yang lain mengangkat badanku yang super berat ini, menyebrang jalan dan memasukkan aku ke dalam bemo yang mereka hentikan paksa. Pak Simon memegangku dari belakang, mengangkat setengah badanku. Ugh…kuat sekali Bapak ini….pikirku
Didalam bemo, sambil terus mengaduh, aku mengambil Hp disaku tas dan menelpon suamiku.
“Papa, segera ke RS Wirasakti, mama ada disruduk orang gila !”
Sampai di RS, aku langsung didorong ke Ruang bedah.
Tremmorku masih berlangsung, nyeri di ujung kakiku makin terasa karena angin yang kencang menerpa koridor RS.
“Suster, Dr…tolong segera ibu ini, darah sudah keluar terlalu banyak !” seru pak Simon sambil menarik lengan perawat yang ada diruangan itu
“Iya pak, sabar, Dr segera datang, “
“Tapi Sr bisa kan bersihkan luka dulu, atau tangani sebisanya dulu” kata Pak Simon lebih keras
“Sabar-sabar pak, saya memang mau tangani, tapi lampu mati nih, panas dan gelap, bapak mengerti kan?”
Jawaban perawat itu membuat pak Simon kesal, apalagi aku terus mengaduh, meski tak bersuara.
Tiba2 aku mendengar suara Dr Rusli, Dr yang pernah menangani aku waktu terdeteksi usus buntu beberapa waktu lalu.
“Dr… tolong beta, tolong beri obat penghilang rasa sakit, atau apa kek, biar tremor saya berhenti dulu.” Seruku mengiba
“Lho, kamu? Ada apa ini” jawab Dr Rusli yang saat itu sedang tidak bertugas, dia memakai celana pendek dan tshirt saja.
“Ini Dok, ditabrak orang gila,”
Suhu tubuhku semakin memanas, tapi aku merasa kedinginan luar biasa, Dr segera memerintahkan perawat-perawatnya menanganiku. Aku menjadi lebih tenang melihat suamiku, Ita dan Wira (teman kerjaku) dan juga Benni (adik iparku) berada diruang itu.
Suamiku tampak dengan mata berkaca-kaca. Dia memang tidak bisa melihat luka/darah dan kalau ada kejadian akan lebih panic daripada aku. Aku justru hampir menangis ketika Wira menenangkan aku, bukan banyak bertanya…aku terharu dengan perhatian mereka.
Tibatiba aku berteriak karena perawat menyuntikkan anestesi tepat ditengah luka dan rasanya seperti menusuk tulang.
“Augh…Dr Rusli tolong beta,”teriakku. Saya sudah 2 x operasi cesar, tapi anestesi tidak sesakit ini.keluhku
Dr Rusli menyeruak diantara 3 perawatnya, “Wah sorry, dia baru lulus sih, jadi belum lihai” kata Dr Rusli sambil mengambil lagi 1 suntikan dan dengan tangannya sendiri menyuntik bagian kiri telapak kakiku. Dalam hitungan detik, sampai di pahaku sudah tidak terasa lagi, tremmor juga berhenti, suhu tubuhku mulai menghangat, dan aku lebih tenang.
Tiba-tiba seorang bapak mendekatiku, “Bu, ini no telp toko dan hp saya, motor ibu ada kami amankan, si penabrak jg masih kami amankan disana”
Bapak ini tidak tahu kalau ada suamiku disitu, kemudian aku serahkan dia pada suamiku, dan suamiku mengurus ke toko Bapak itu.
Dari cerita suamiku, orang ini bersikeras tidak merasa bersalah, sehingga orang-orang mendesak untuk menyerahkannya pada polisi. Akhirnya suamiku serahkan kasusnya pada polisi.
Seminggu, Dua Minggu, Tiga minggu….luka dikakiku mulai sembuh, tapi terasa begitu lambat. Kami rajin kontrol ke Dr, dan kami sempat kaget karena aku yang biasanya selalu hypotensi, sekarang menjadi hypertensi. Tensiku biasanya berkisar 80-90/90 menjadi 150/100 !!! wow
Selama sakit, aku sempat 2 minggu cuti kerja. Jalan menggunakan kursi, kemudian menggunakan kruk, sampai terus sambil meringis mencoba melatih kakiku berjalan tanpa bantuan. Luka dijahit lebih dari 10 jahitan sebenarnya bukan hal baru untuk kakiku, apalagi kaki kananku, beberapa tahun lalu, aku terpaksa 2 minggu menggunakan 2 kruk untuk berjalan karena kecelakaan, dengan kaki dijahit dan tempurung lutut yang bergeser. Tapi sekarang sepertinya bodiku sudah sangat berubah. Mungkin setelah 2x melahirkan, perempuan memang sudah turun mesin.
Aku merasa sakit yang begitu lama, kesembuhan yang begitu lambat, bukan hanya rasa nyeri di kaki yang membuatku tersiksa, bentuknya yang sudah cacat, sulit menggunakan sepatu dan efek psikisnya yang kurasa mulai menggangguku justru setelah aku mulai berani memakai motor lagi. Aku memang tidak mau bermanja-manja, Operasi secar saja, hanya aku pakai bedrest 3 hari sudah termasuk turun dari tempat tidur dan melakukan aktivitas ringan. Apalagi hanya sakit dikaki.
Aku kembali ke sekolah, mengurus awal kuliah lagi di kampus dan aktivitas lain dengan membawa motor sendiri. Banyak orang yang terheran-heran karena aku sudah berani memakai motor, tapi tidak pernah ada yang tahu bahwa aku justru terheran-heran dengan kondisi psikisku yang mulai kacau. Setiap malam sekitar jam 2 aku mengigau, ketakutan dan terbangun. Aku seperti diharuskan mengulas lagi detik-detik terrible day itu. Aku seperti mengulangi lagi dengan nyata kejadiannya. Dan pada saat mengendarai motor, aku sering terkaget-kaget saat disalib orang, atau ada suara rem yang berdencit keras, atau ada orang yang tiba –tiba berbelok didepan padahal jaraknya masih sekitar 3 meter’an.
Aku bisa tiba-tiba berhenti dipinggir jalan dengan rasa takut hingga keringat dingin.
Biasanya jarak rumah ke sekolah aku tempuh paling lama 20 menit, sekarang bisa lebih dari 40 menit. Dan aku tidak berani memboncengkan orang lain.
Aku tidak mengerti kenapa aku pernah melalui accident2 yang lebih hebat tapi efeknya tidak separah ini. Aku merasa perlu ditolong dan rasa “takut” itu sangat “bukan diriku”.
Disalah satu kegiatan, aku bertemu kembali dengan Romo Anselmus. Sekarang kami sering berkomunikasi by sms. Aku sempat curhat ke beliau, dan beliau menyarankan aku untuk mencoba ke pskiater. Karena trauma kecelakaan seperti ini bisa berkembang tidak baik, dan psikiater akan membantu memetakan masalah. Beliau pernah bercerita tentang rekannya yang menjadi kurban tsunami, dia memerlukan waktu 1 th untuk kembali normal, itupun dengan pendampingan psikiater.
Aku tersenyum saja menanggapi Romo. Aku kan hanya kecelakaan biasa, yang sakit juga hanya ujung kakiku, aku tidak perlu menggunakan alat bantu. Aku bukan kurban tsunami atau teror bom. Tapi aku mulai bertanya-tanya perlukah aku to do something after the terrible day???? help me friend...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar