Rabu, 13 Juli 2011

Keterampilan Dasar Komputer untuk anak

Komputer dan teknologi adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Kita melihat mereka di tenaga kerja, di rumah, dan di sekolah-sekolah. Seorang anak akan mulai belajar keterampilan komputer ketika mereka mulai sekolah . Ada keterampilan penting anak-anak perlu diajarkan ketika mereka mulai menggunakan komputer. Dasar-dasar ini mengajar anak-anak cara mengoperasikan dan menggunakan komputer dengan benar.
Komponen Komputer
Sebelum mulai mengajar anak-anak cara menggunakan komputer, mereka harus terlebih dahulu mempelajari komponen dari sebuah komputer. Hal ini termasuk mouse, keyboard, dan monitor. Mengajar anak-anak bagaimana mengubah komputer dan monitor on dan off memastikan bahwa mereka benar merawat komputer. Ketika mengajar anak-anak tentang mouse, penting untuk mengajarkan mereka bagaimana untuk double klik sehingga begitu mereka belajar bagaimana menggunakan komputer, mereka memahami bagaimana cara untuk membuka program.
Terminologi yang tepat
Ketika seorang anak mulai untuk mendapatkan dasar-dasar komputer, penting untuk mengajarkan mereka terminologi yang benar. Yang penting mereka belajar istilah yang tepat untuk komponen komputer dan penggunaan komputer. Hal ini memastikan ketika anak-anak belajar keterampilan komputer yang lebih maju, mereka sudah akan memiliki pemahaman terminologi komputer.
KeterampilanKeyboarding
Pengajaran keterampilan keyboard mungkin lebih sulit jika anak masih sangat muda, tapi sangat penting untuk menunjukkan penempatan tangan yang benar pada keyboard. Jika anak-anak diajarkan penempatan tangan yang benar dari awal, mereka tidak akan perlu kembali diajarkan cara yang benar setelah mereka mulai bersekolah. Jika tangan anak Anda kecil, Anda dapat berinvestasi di keyboard berukuran anak-anak yang lebih cocok bagi mereka untuk belajar di.
Software, Program, dan Permainan Pengajaran
Mengajar anak Anda bagaimana benar menggunakan perangkat lunak sangat penting. software Loading benar akan mengajarkan anak-anak bagaimana tidak merusak cakram atau disc drive. Mengajar anak-anak bagaimana menggunakan program komputer akan meningkatkan pengetahuan mereka tentang bagaimana melakukan hal-hal seperti jenis dalam program pengolah kata.
World Wide Web
Mengajar anak-anak cara mengakses World Wide Web membawa mereka ke banyak informasi. Untuk mulai mengajar anak-anak tentang World Wide Web, mulai dengan mengajar mereka tentang browser. Belajar bagaimana membuka browser, bagaimana benar mengetik alamat web, dan bagaimana untuk mencari item di web sangat penting untuk menggunakan World Wide Web. Untuk memastikan keamanan anak-anak di web, dana pastinya beberapa komputer harus dalam status savety for kids.

Filosofi Hidup Jawa

1. URIP IKU URUP
Hidup itu nyala, hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita
2. MEMAYU HAYUNING BAWANA, AMBRASTA DUR HANGKARA
Harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak
3. SURA DIRA JAYA JAYANINGRAT, LEBUR DENING PANGASTUTI
Segala sifat keras hati, picik, angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar
kemarahan dan kebencian akan lebur dengan kelembutan
kemarahan identik dengan kekerasan, kebencian identik dengan pertentangan, gabungan keduanya menimbulkan perpecahan, permusuhan, pertikaian, perebutan, penghancuran dan lain-lain.
kelembutan identik dengan kedamaian, pertemanan, persahabatan dan ketenangan.
dengan kelembutan, maka perasaan marah, benci akan terkikis. pertikaian terhapus menjadi persahabatan, pertentangan menjadi ketenangan dan permusuhan menjadi kedamaian.
4. NGLURUK TANPA BALA, MENANG TANPA NGASORAKE, SEKTI TANPA AJI-AJI, SUGIH TANPA BANDHA
Berjuang tanpa perlu membawa massa, Menang tanpa merendahkan/mempermalukan, Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan/kekuatan/kekayaan/keturunan, Kaya tanpa didasari hal-hal yang bersifat materi
5. DATAN SERIK LAMUN KETAMAN, DATAN SUSAH LAMUN KELANGAN
Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri, Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu
6. AJA GUMUNAN, AJA GETUNAN, AJA KAGETAN, AJA ALEMAN
Jangan mudah terheran-heran, Jangan mudah menyesal, Jangan mudah terkejut dengan sesuatu, Jangan kolokan atau manja
7. AJA KETUNGKUL MARANG KALUNGGUHAN, KADONYAN LAN KEMAREMAN
Janganlah terobsesi atau terkungkung dengan kedudukan, materi dan kepuasan duniawi
8. AJA KUMINTER MUNDAK KEBLINGER, AJA CIDRA MUNDAK CILAKA
Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka
9. AJA MILIK BARANG KANG MELOK, AJA MANGRO MUNDAK KENDHO
Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah dan jangan berfikir gamang/plin-plan agar tidak kendor niat dan kendor semangat
10. AJA ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA
Jangan sok kuasa, sok besar/kaya, sok sakti

Minggu, 26 Juni 2011

Understanding Literature

More than two thousand years ago, the Roman poet Horace claimed that literature is "sweet" and "useful." Since then, literature has been traditionally understood, at least in Western cultures, as having the dual purpose of entertaining and educating its audience. Literary texts are constructed in effect as objects of beauty, sources of pleasure and as conveyors of messages and information. While authors often claim no practical purpose for their works, all literature constitutes an attempt at persuasively conveying certain values and ideas. The entertaining and beautiful aspect of literary works acts in reality as part of the appeal and attractiveness which the work tries to attach to the ideas which it seeks to convey. The beauty of literature is therefore a part of its rhetoric, a device intended to strengthen the overall persuasiveness and influence of the work on its audience. While the entertaining aspect of literature may be rather obvious, understanding the ideas or values which a text advances is not always a simple task. Part of the problem is the fact that the ideas of a literary text are almost always presented in indirect or "symbolic" form. Take for example the following very simple narrative:
The Dog and the Piece of Meat
A dog carrying a piece of meat in his mouth was crossing a river when he suddenly saw his own reflection in the water. Mistaking the image for another dog, he dropped his meat and jumped to the attack. His piece of meat fell in the water and was carried away by the current. And so the dog lost both what he had and what he didn't have.
In itself an amusing story, we know nevertheless that one of the purposes of this fable of Aesop--a Greek storyteller of the 6th century B.C.--is to teach a point about the dangers of greed and the importance of being happy with what we have. Although those points are not literally or explicitly made in the story, they are embedded in its symbolism. In this story, the animal and his actions are not to be taken literally but instead are to be understood as symbolic representations of certain kinds of human character and behavior. An important guide in literary study is the idea that one must always strive to go beyond the literal or the mere appearances of things and search instead for the "meat" of the story. Unlike the dog of Aesop's fable, we should not allow ourselves to be fooled by false appearances. In the reading you will do in this course, you will be engaging in a constant search for the ideas and values which, although often not explicitly mentioned in the texts, constitute the substance of literary works.
The fact that literary texts very much seek to convey a message to their audience does not mean that their authors are always fully aware of or even interested in that function of their work. Authors in effect often craft their works in very practical and almost automatic ways and do not bother asking or answering questions as to their significance. What seems most important to authors is to create a pleasing or beautiful object which somehow closely conforms to and expresses the features of an otherwise undefined inward impulse. Many authors in fact are quite hostile toward the interpretation of their works and refuse to have anything to do with it. Samuel Beckett is quoted as having said, "it's bad enough to have to write these books without talking about them too." To begin to understand this odd relation of literature to its authors, we may recall its analogy, noted by Sigmund Freud, to the relation between dreams and dreamers. Just as dreams often convey meaning and information to the dreamer in puzzling symbolic images, literature may be said to function in a similar way. The author of a literary text can be compared to a dreamer transcribing his dreams into written language. But just as a dreamer is often unaware of the meaning of his/her own dreams, writers too cannot always explain what it is that their writings mean. The writing of literature is many times an almost unconscious performance which allows for the half-veiled expression of ideas and concepts which transcend the conscious mental life or avowed intentions of authors. Dealing frequently with highly charged, emotionally loaded, dangerous, or threatening ideas and desires, dreams and literary texts constitute ways of giving 'safe' (i.e. unclear, ambiguous, and concealed) and also powerful and influential expression to materials which, for a variety of reasons, cannot or should not be fully brought into consciousness or verbal expression. Therefore, the opinions and ideas of an author about his/her own work are not necessarily the most reliable guides toward a meaningful interpretation of a text. Like a psychoanalyst and his patient, an intelligent and attentive reader may be able to understand a text better than the very person who wrote it.
Given that literature attempts to promote certain ideas, values, or ideologies, one might inquire as to their precise nature and content. All literary works are produced by specific human beings belonging to specific cultures at given historical times and occupying very definite positions within the structures and hierarchies of their societies. Not surprisingly, the ideas and values which literary works seek to promote are influenced by the history, culture and circumstances relevant to the individuals who produce them. Rather than a disinterested or idealistic endeavor, literature is a very worldly and very practical sort of activity aimed at the promotion and dissemination of cultural values and views of the world which are tightly connected to the interests of the author and of the dominant and other powers in her/his society. It should be noted of course that the relation of the author to the powers, institutions, and systems of belief of his/her time can be one of affinity, opposition, or even ambiguity. For these reasons, an understanding of literature and of particular literary texts depends not only on the isolated reading of certain individual works and the consideration of their authors's lives and their circumstances but also upon a solid knowledge and critical examination of the human history, language, and culture (including art, music, philosophy, religion, science, politics, etc.) of which literature forms part and which it represents. The study of literature is therefore an eminently interdisciplinary endeavor through which we attempt to make sense of the human experience throughout history and of the ways in which human beings represent that experience and come to an understanding of themselves and of the world around them.
An important feature of literary texts which distinguishes them from other kinds of persuasive discourse is the fact that they operate not through direct statement and explicit revelation of their contents but instead through indirect allusion, understatement, implication, and even concealment. Literary texts in effect often veil the 'truth' which they seek to convey in an attempt at enhancing its attractiveness and endowing it with a sense of mystery and transcendental value. Literature, much like modern advertisement, is often an attempt at persuasion which operates on subliminal levels and artfully instills its message by concealing it under a cover of fictional situations and devices affecting the audience on emotional, intuitive, experiential, and instinctive levels. A given story for example may seek to promote a particular view of the world not by flatly stating it but instead by constructing a set of emotionally charged and seemingly "realistic" situations leading to the almost unavoidable, but always unstated, conclusion of the story's intended moral. Literary texts thus convey meaning to their readers in ways which go far beyond the mere literal or "surface" level of signification. Indeed, literary texts distinguish themselves from other texts by the subtleties and intricacies of their many levels of meaning and by the common fact that the actual "meaning" of the text is almost always hidden and implicit in the fabric of the work's devices. Meaning in literature is therefore something that needs to be determined not merely on the basis of a face-value understanding of the words in it but through a complete evaluation of the signifying complexity of the rhetoric, figures of speech, images, symbols, allusions, connotations, suggestions, and implications of the entire text.
Given its tendency to speak about its subject indirectly, the essential mode of communication of literature may be said to be a symbolic one. A symbol may be defined in general terms as a signifier of a complex nature which always places its most important referent outside of itself. For the purposes of conveying meaning, literary texts make use of a variety of special signifying devices--known in general as figures or tropes--such as symbols, allegories, metaphors, metonymies, similes, paradoxes, ironies, etc. Although each literary device has a name and a definition, it is not so important to know what they are called so much as to understand that, in general, symbolic figures make indirect references and create semi-invisible chains of association between different sets of images, concepts, and ideas. The associative logic that governs the behavior of those chains of meaning, however, is not always fixed or consistent and often varies widely from text to text and even within a single text. A sensitive and alert reading of a particular text is therefore of paramount importance in discovering the internally-defined logic of association relevant to that text and its parts.
While the logic of association of literary texts is unstable and variable, it is almost always grounded on binary systems of distinctions and polar oppositions defined either by literary convention and/or internally within the text. Given a set of basic symbolic oppositions, connections created by symbolic figures in a text are generally governed by similarities to and differences from the basic binary parameters. Being able to perceive similarities and differences between groups of images, words, and ideas in a text is therefore the first step toward the discovery of its underlying categories and structures of symbols and ideas. Take for example a story where a cruel monster is described as having the appearance of a mountain lion and where later we find a seemingly virtuous man also compared to a mountain lion. We can begin to perceive that, although they may seem very different, the text also wants us in a way to place the man and the monster in the same category and perhaps understand that the man is also, in some mysterious sense, a cruel monster. Such a story could in a very subtle way be implying a critical comment concerning the character of its hero or even the virtues cherished in the society in which the hero lives. Often indeed under the façade of an unbelievable tale of monsters and adventures lies hidden the architecture of an entire set of values and a complex system of thought and ideas.

Jumat, 24 Juni 2011

FOR THE LIFE YOU WANT

although stressful, but many people just love to work
Such people feel valued in their work. while working, they have friends, social life as well. workplace people feel more valued and have the ability, consequently neglected family. more and more women feel guilt and stress because of spending too much time to work, but they are hesitant to reduce their working hours.
trend in the 21st century, people expect to do anything more.
Secret deal with is: balance, peace and quiet away even though the conditions forced us to hurry. easy to say, but so difficult to implement
Rest part of our brain that sealu worrying everything
Life is full of problems, but all the pressures and failures that we face comes from the old wounds or worries about the future of our own.
Rather than surrender to fate, we must begin to realize that every minute of life should be enjoyed and celebrated.

UNTUK KEHIDUPAN YANG KAMU INGINKAN
walaupun menimbulkan stres, tapi banyak orang justru senang bekerja
orang-orang semacam itu merasa dihargai dalam pekerjaan mereka. saat bekerja, mereka memiliki teman-teman, juga kehidupan sosial. ditempat kerja orang merasa lebih dihargai dan memiliki kemampuan, akibatnya keluarga terabaikan. semakin banyak wanita merasa bersalah dan stress karena menghabiskan terlalu banyak waktu untuk bekerja, namun mereka ragu untuk mengurangi jam kerja mereka.
kecenderungan di abad 21 ini, orang berharap melakukan segala sesuatu lebih banyak.
Rahasia mengatasinya adalah : keseimbangan, ketenangan dan kedamaian diri meski kondisi memaksa kita untuk tergesa-gesa. mudah diucapkan, tapi begitu sulit melaksanakannya
Istirahatkan bagian dari otak kita yang sealu mengkhawatirkan segala sesuatu
Hidup memang penuh dengan masalah, namun semua tekanan dan kegagalan yang kita hadapi berasal dari luka lama atau kekawatiran kita sendiri akan masa depan.
Dari pada menyerah pada nasib, kita harus mulai menyadari bahwa setiap menit dalam hidup harus dinikmati dan dirayakan.

PERILAKU MENYIMPANG REMAJA

Teori patologi sosial :
Tidak ada keadaan atau perilaku yang betul-betul normal secara ideal, tetapi yang ada keadaan antara normal dan abnormal, oleh karena itu perilaku menyimpang memiliki rentang yang cukup luas.

A. PENGERTIAN PERILAKU MENYIMPANG

Perilaku menyimpang : bilamana perilaku seseorang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain dan juga melanggar aturan-aturan, nilai-nilai dan norma, baik norma agama, hukum maupun adat istiadat.

Andi Mappiare 91982) :
Perilaku menyimpang disebut juga tingkah laku bermasalah.
Tingkah laku bermasalah : tingkah laku yang masih dalam batas ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan sebagai akibat adanya perubahan fisik dan psikis, dan atau selama tidak merugikan dirinya sendiri da masyarakat.

Medinus dan Johnson (1976)
Perilaku agresif tidak selalu merugikan, mis : seorang anak agresif justru berhasil dalam kompetisi dan gigih dalam berusaha.

Hurlock (1990)
Remaja yang kematangannya terlambat dan sering diperlakukan seperti anak-anak dapat menimbulkan perilaku menyimpang seperti melawan, tidak patuh, merusak , dsb.

Bill S Reksadjaya, 1981
 Pandangan aliran Behaviorisme
Perilaku menyimpang terjadi bila:
• Seorang gagal menemukan cara-cara penyelesaian yang cocok untuk perilakunya
• Seseorang belajar tentang cara-cara penyesuaian yang salah (molodaptive dan ineffective)
• Seseorang dihadapkan pada konflik-konflik yang tidak mampu diatasinya.

Untuk mengatasinya : gunakan prinsip belajar, yaitu memberi penguatan terhadap kondisi perilaku positif untuk menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan , mis : memberi pujian

 Pandangan Humanisme
Perilaku menyimpang disebabkan oleh :
• Seseorang belajar mengenai sikap penyesuaian yang salah
• Seseorang menggunakan cara-cara mekanisme pertahanan diri (defense mecanism) secara berlebihan

Slavin (1976)
Remaja pada umumnya mengalami gangguan emosional dan ini dapat menimpbulkan perilaku menyimpang (deliquency), seperti : penyalahgunaan napza, penyimpangan seksual, dsb



Moslow dan Mittelman (dalam Kartini-Kartono, 1985)
Ciri-ciri pribadi normal dan mental yang sehat adalah:
a. Memiliki perasaan aman
b. Mempunyai spontanitas dan emosionalitas yang tepat
c. Mampu menilai dirinya secara objektid dan positif
d. Mempunyai kontak dengan suatu realitas secara baik
e. Memiliki dorongan-dorongan dan nafsu jasmaniah yang sehat serta memiliki kemampuan-kemampuan untuk memenuhi pemanfaatannya
f. Mempunyai pemahaman diri yang baik
g. Mempunyai tujuan hidup yang jelas
h. Memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman hidupnya
i. Ada kesanggupan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan kelompok dimana saja ia berada
j. Ada sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya dan kebudayaannya
k. Ada intgrasi dalam kepribadiannya

B. WUJUD PERILAKU MENYIMPANG

Gunarsa (1986) perilaku menyimpang dibedakan dalam 2 jenis :
1. Penyimpangan bersifat amoral dan asosial yang tidak diatur dalam Undang-undang (tidak termasuk pelanggaran hukum), mis : membolos, kabur dari rumah, membaca buku porno,pakaian tidak pantas, miras, dsb
2. Penyimpangan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum (kenalakan remaja / deliquency), mis : judi, membunuh, memperkosa, mencuri, dsb.

Perilaku menyimpang yang sering terjadi pada remaja :
1. Suka bolos sekolah
2. Tidak suka bergaul
3. Berbihing
4. Suka berkelahi/mengganggu teman
5. Suka merusak fasilitas
6. Sering mencuri barang orang lain
7. Suka mencari perhatian
8. Ugal-ugalan/kebut2an di jalan
9. Kecanduan narkotika dan narkoba
10. Minum miras
11. Pemerkosaan dan sex bebas
12. Melakukan perjudian
13. Melakukan pemerasan
14. Suka melawan
15. Berpikir aru bersifat dan berperilaku radikal/ekstrim

C. KEADAAN/KONDISI REMAJA YANG POTEENSIAL MENGALAMI PERILAKU MENYIMPANG
Gejala perilaku menyimpang :
1. Remaja tsb tidak disukai teman-temannya (jadi suka menyendiri)
2. Remaja yang menghindarkan diri dari tanggung jawab baik di rumah/disekolah
3. Remaja sering mengeluh (tidak bisa mengatasi masalahnya)
4. Remaja suka berbohong
5. Remaja sering mengganggu dan menyakiti teman/org lain
6. Remaja tidak suka dengan guru/mata pelajarannya

D. FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA PERILAKU MENYIMPANG

Study Symond (dikutip oleh Moh Suryo 1985) :
Anak-anak yang berasal dari keluarga yang sering bertengkar ternyata lebih banyak mengalami masalah.

Study Lewin
90% anak-anak yang bersifat jujur itu berasal dari keluarga yang keadaannya stabil dan harmonis. 75% anak-anak pemohong berasal dari keluarga yang tidak harmonis (broken home)

Secara garis besar factor-faktor penyebab terjadinya tingkah laku menyimpang dapat berasal dari :

• Keadaan individu yang bersangkutan
 Potensi kecerdasannya rendah,sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan akademik sebagaimana yang diharapkan.Akibatnya ia sering frrustasi,mengalami konflik batin dan rendah diri
 Mempuyai masalah yang tidak terpecahkan
 Belajar cara penyesuaian diri yang salah
 Pengaruh dari lingkungan
 Tidak menemukan figur yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

• Dari luar individu yang bersangkutan

 Lingkungan Keluarga
1. Suasana kehidupan keluarga yang tidak menimbulkan rasa aman(Keluarga broken home)
2. Kontrol dari orang tua yang rendah,yang menyebabkan
3. berkurangnya disiplin dalam kehidupan keluarga.
4. Orang tua yang bersikap otoriter
5. Tuntutan orang tua terlalu tinggi atau tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak.
Kehadirannya dalam keluarga tidak diinginkan,sehingga orang tua tidak menyayanginya.

• Lingkungan Sekolah
1. Tuntutan kurikulum yang terlalu tinggi atau terlalu rendah disbanding kemampuan rata-rata anak yang bersangkutan
2. Longgarnya disiplin sekolah menyebabkan terjadinya pelanggaran peraturan yang ada.
3. Anak-anak sering tidak belajar karena guru sering tidak masuk,sehingga perilaku anak tidak terkontrol
4. Pendekatan yang dilakukan guru tidak sesuai dengan perkembangan remaja
5. Sarana dan prasarana sekolah kurang memadai,akibatnya aktivitas anak jadi terbatas.

• Lingkungan Masyarakat
1. Kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam membelajarkan anak atau mancegah pelanggaran tata tertib sekolah
2. Media cetak dan media elektronik yang beredar secara bebas yang sebenarnya belum layak buat remaja,misalnya berupa gambar porno,buku cerita cabul.
3. Adanya contoh/model di lingkungan masyarakat yang kurang menguntungkan bagi perkembangan remaja, misalnya main judi, minuman keras dan pelacuran



E. USAHA PENANGGULANGANNYA

Usaha penanggulangan perilaku menyimpang dapat bersifat pencegahan (peventif), pengentasan(currative), pembentulan (corrective), dan penjagaan atau pemeliharaan (preservative).

a. Usaha yang dilakukan oleh keluarga
• Menciptakan hubungan yang harmonis dan terbuka di antara anggota keluarga, anak mereka, lebih kerasan di rumah dari pada keluyuran di luar rumah.
• Orang tua jangan terlalu menuntut secara berlebihan kepada anak untuk berprestasi atau memaksakan kehendaknya untuk mengambil jurusan/bidang studi tertentu bilamana tidak sesuai dengan kemampuan/potensi yang dimiliki anak.
• membantu mengatasi berbagai kesulitan yang dialami remaja.

b. Usaha yang dapat dilakukan oleh sekolah

• Menegakkan disiplin sekolah
• Membantu masalah yang dialami oleh siswa sebagaimana diketahui bahwa salah satu sumber terjadinya perilaku menyimpang yaitu siswa menghadapi masalah. Yang tidak terpecahkan.
• Menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana belajar
• sekolah perlu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.

c. Usaha masyarakat dalam menangulangi perilaku menyimpang
• Secara bersama-sama ikut mengontrol dan menegur bila ada anak yang tidak masuk kelas pada jam pelajaran berlangsung, misalnya nongkrong di warung.
• Melaporkan kepada pihak sekolah bila mengetahui ada siswa dari sekolah itu melakukan tindakan menyimpang.
• Ikut menjaga ketertiban sekolah, dan menciptakan suasana yang aman dan nyaman untuk mewujudkan proses belajar mengajar yang baik.

Kamis, 23 Juni 2011

PERKEMBANGAN KONSEP DIRI REMAJA

A. PENGERTIAN KONSEP DIRI

• William James, dalam Gilmore, 1974 :
Konsep diri adalah pendapat seseorang tentang dirinya sendiri atau pemahaman seseorang tentang baik yang menyangkut kemampuan mental maupun fisik. Prestasi mental maupun fisik ataupun menyangkut segala sesuatu yang menjadi miliknya yang bersifat material.
• Gege dan Besliner (dalam Atmater, 1987) :
Konsep diri adalah keseluruhan (totalitas) dari penerapan yang dimiliki seorang terhadap dirinya, sikap tentang dirinya dan keseluruhan gambaran diri.
• Epstein ( 1973), Brim (1975), Blyith dan Treger (1991) :
konsep diri : pendapat atau perasaan atas gambaran seseorang tentang dirinya sendiri baik yang menyangkut fisik maupun psikis (sosial, emosi, moral dan prognitif)

1. Konsep diri yang menyangkut materi yaitu pendapat seseorang tentang segala sesuatu yang dimilikinya baik yang menyangkut harta benda maupun bentuk tubuhnya
2. Konsep diri yang menyangkut sosial yaitu perasaan orang tentang kualitas hubungan sosialnya dengan orang lain.
3. Konsep diri yang menyangkut emosi, yaitu pendapat seseorang bahwa dia sabar, bahagia, senang atau gembira, berani dsb.
4. Konsep diri menyangkut moral, adalah pandangan seseorang ttg dirinya bahwa dia jujur, bersih, penyayang dan taat beragama. Konsep diri yang menyangkut kognitif : pendapat seseorang ttg kecerdasan baik dalam memecahkan masalah maupun prestasi akademik.

B. JENIS-JENIS KONSEP DIRI

Hurlock (1974) membagi konsep diri menjadi 4 bagian :

1. Konsep diri dasar
Meliputi persepsi mengenai : penampilan, kemampuan, peran status dalam kehidupan, nilai-nilai, kepercayaan (serta aspirasinya).
2. Konsep diri sementara
Konsep diri yang dapat hilang apabila di sikon dan tempat berbeda, konsep diri yang timbul dari interaksi lingkungan, dipengaruhi suasana hati, emosi dan pengalaman baru
3. Konsep diri sosial
Konsep diri berdasarkan cara seseorang mempercayai persepsi orang lain tentang dirinya. Misalnya masyarakat mengatakan dia nakal, maka onsep dirinya akan seperti itu.
4. Konsep diri ideal
Konsep diri yang terbentuk dari persepsi seseorang dan keyakinannya oleh apa yang kelak terjadi pada dirinya di masa yang akan datang. Berhubungan dengan keadaan fisik dan psikologinya.

Strang (1970), 4 konsep dasar tentang konsep diri :

1. Konsep diri menyangkut pemahaman seseorang ttg kemampuan, peranan dan penghargaan terhadap diri sendiri
2. Konsep diri itu tidak tetap, tetapi bisa berubah dari waktu ke waktu atau dari pengalaman ke pengalaman
3. Konsep diri sosial (social self concer) : pendapat seseorang ttg bagaimana orang lain memandang dirinya
4. Konsep diri ideal dan konsep diri realita.
Konsep diri ideal : konsep diri seseorang seperti yang diharapkan
Konsep diri realita : konsep diri yang benar-benar sesuai dengan kemampuand an segala sesuatu yang kenyataannya memang dimiliki seseorang

McCandles (1972), ada 3 komponen konsep diri yaitu komponen struktur, komponen fungsi, dan komponen kualitas

 Komponen struktur
Konsep diri yang kaku/fleksibel, sederhana/kompleks. Luas /sempit, akurat/tidak akurat.

 Komponen fungsi
Konsep diri memiliki sejumlah fungsi,yaitu :

• fungsi penilaian
konsep diri memberi gambaran tentang diri sendiri yang telah diwarnai oleh penilaian orang yang bersangkutan terhadap dirinya sendiri. (baik/buruk, mampu/tdk, benar/salah, dsb)
• fungsi pengarahan/kontrol
konsep diri menjadi pengarah dalam bertingkah laku, baik bertingkah laku terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain (mis: seseorang menganggap dirinya penyayang, maka dia akan menyayangi orang)
• fungsi aktualisasi diri
konsep diri dapat mendorong untuk mengaktualisasikan dirinya, sebagaimana orang itu memandang dirinya. (merasa diri seorang kreatif, maka dia akan terdorng untuk menampilkan dirinya sebagai seorang kreatif.)
• fungsi motivasi
konsep diri yang memotivasi dirinya seperti orang itu memandang dirinya ( mis: seseorang memahami dirinya sebagai seorang berprestasi dalam bidang akademis, maka dia akan belajar dn berusaha keras dan membuktikan bahwa dirinya berprestasi)

C. FUNGSI KONSEP DIRI

Felker D (1974) tiga fungsi utama konsep diri :

1. Konsep diri sebagai pemeliharaan konsistensi internal (self concept as maintainer of inner consistency)
• Individu memilih suatu sistem untuk mempertahankan kesesuaian antara individu dengan lingkungannya.

2. Konsep diri sebagai interpretasi dari pengalaman (self concept as on interpretation of experience)
 konsep diri dpt digunakan sebagai penentu tingkah laku , dapat dilihat dari bagaimana pengalaman yang dialami dan diinterpretasikan individu.


3. Konsep diri sebagai suatu kumpulan harapan-harapan (self concept as set of expextations)
• Konsep diri menentukan apa yang diharapkan individu untuk terjadi pada dirinya. Individu memandang diri dengan harga yang ia tentukan sendiri dan mengharap orang lain jg memperlakukan dirinya sesuai dengan apa yang ia harapkan.

D. KONSEP DIRI REMAJA YANG SEHAT

Laurel dan Klatell, 1991) :
Konsep diri mempengaruhi kesehatan mental, dan bahkan perkembangan kepribadian remaja.
Untuk membina konsep diri yang sehat (positif), remaja perlu memiliki penilaian diri sendiri (self esteem)

Candles (1972)
Remaja yang memiliki penilaian diri sendiri tepat menampakkan kehidupan bahagia, karena dapat menerima keadaan dirinya sendiri sebagaimana adanya (memiliki pandangan positif ttg dirinya)

Mc Candles, Konsep diri remaja yang sehat :

1. Tepat dan Sama
Konsep diri remaja itu tepat dan sama dengan kenyataan yang ada pada diri remaja itu sendiri. Contoh : seorang remaja laki-laki mampu memerankan dirinya, baik dalam penampilan maupun dalam tugas dan tanggung jawabnya sebagai pria maskulin.

2. Fleksibel
Konsep diri yang sehat ditandai oleh kefleksibelan atau keluawesan remaja dalam menjalankan perannya di masyarakat. Contoh : seorang remaja dapat memainkan perannya sebagai siswa di sekolah dengan konsentrasi belajar, mengerjakan tugas, kerjasama dalam diskusi, disiplin, dsb. Dan dapat memerankan perannya dirumah sebagai anak dan kakak dengan menjaga adiknya, membantu orang tuanya, dsb

3. Kontrol diri
Remaja dengan konsep diri sehat, mampu mengontrol dirinya sendiri sesuai standar bertingkah laku yang telah menjadi miliknya sendiri, bukan diatur oleh keharusan-keharusan orang lain.

E. KONSEP DIRI DAN KARIR REMAJA

Remaja dengan konsep diri yang sehat memiliki aspirasi yang tinggi tentang jabatan yang ingin dicapainya. Mereka ingin memiliki karir dan tuntutan kemampuan yang tinggi. Mereka inginkan status sosial yang tinggi, penghasilan tinggi dan penuh tantangan.

F. KONSEP DIRI DAN PRESTASI SEKOLAH

Morison dan Thomson (1973) dan Lecky (dalam Nylor, 1972) Pendapat mereka mengenai hubungan konsep diri dengan prestasi di sekolah :
1. Siswa yang memiliki konsep diri positif menampilkan prestasi yang baik di sekolah, menunjukkan hubungan pribadi (baik dengan guruteman) yang positif. Mereka menentukan targer prestasi belajar yang realistis dan mengarahkan kecemasan akademis dengan belajar keras dan tekun.
2. Penting diciptakan situasi sekolah yang mengembangkan konsep diri positif siswa, yaitu memungkinkan mereka mendapatkan pengharagaan, sokongan dan pengakuan dari guru dan teman mereka. Sangat penting bagi guru mengusahakan agar semua siswa sukses dan menghindari kegagalan dalam mencapai prestasi di sekolah dalam rangka mengembangkan konsep diri positif siswa.

Kougehnet (1979) para siswa kelas terbuka (open classroom) cenderung memiliki konsep diri lebih tinggi dari pada siswa dari sekolah tradisional. Open classroom tdk belajar di kelas yang sangat diatur oleh guru, tapi berlajar berkelompok, observasi, wawancara, diskusi, percobaan dan berbagai proyek belajar bersama lainnya.

Dun dan Schemat (1964), Caplin (1969) dan Quinby (1967) :
Siswa yang berprestasi di bawah potensi intelektual yang sebenarnya (underachiever) dan siswa yang berprestasi diatas potensi intelektualnya berbeda konsep diri mereka. Overachiever memiliki konsep diri yang lebih tinggi daripada underachiever.

Tingkah laku guru yang dapat mengembangkan konsep diri positif siswa adalah sebagai berikut :
1. Guru yang suka memberikan penguatan Ireinforcement) dan menciptakan situasi belajar yang memberi kesempatan siswa memperoleh penguatan
2. Guru yang suka memberikan sokongan/dukungan dan menciptakan situasi yang menyebabkan keputusan atau kegiatan siswa tersokong atau disetujui
3. Guru yang selalu berpikir positif tentang siswa
4. Guru yang menciptakan situasi yang memungkinkan siswa merasa sukses melalui pengalaman belajar yang sukses yaitu belajar dengan siswa aktif
5. Guru yang menghargai usaha siswa melebihi hasil, bukan memberikan penghargaan dari apa yang bukan hasil usaha siswa. Para guru yang berusaha mengembangkan bakat dan ketrampilan pada siswa. Sehingga mereka merasa berguna dan berarti.

G. KONSEP DIRI DAN PENYESUAIAN SOSIAL

Pengaruh konsep diri dengan penyesuaian sosial siswa :
1. Siswa yang memiliki konsep diri tinggi menampakkan hubungan sosial yang lebih baik daripada siswa yang memiliki konsep diri rendah
2. Individu siswa yang memiliki konsep diri rendah lebih mudah terserang kritikan atau penolakan daripada siswa yang memiliki konsep diri tinggi
3. Individu siswa dengan konsep diri tinggi mudah dan sukses dalam melibatkan diri dalam berbagai aktivitas sosial, misalnya dalam membina hubungan sosial heteroseksual dan dalam perkawinan.
4. Individu siswa dengan konsep diri tinggi merupakan siswa populer dan dalam kegiatan kelompok mereka sangat berhasil, karena berani berpendapat, memiliki ide dan tidak takut dikritik.

H. KONSEP DIRI DAN KENALAKAN REMAJA

Remaja nakal menghayati diri mereka seperti kata orang lain yang mengatakan mereka nakal, malas, tidak sopan, masa bodoh, dsb. Akibatnya mereka berpendapat bahwa mereka tidak diinginkan oleh orang lain. Jika mereka dihukum, dipenjara, dan dihina maka justru akan memperburuk konsep diri mereka. Cara tepat adalah dengan memberi kesempatan memperoleh penerimaan, sokongan dan penghargaan.

1. Merubah konsep diri
Lingkungan keluarga dan sekolah berperan besar dalam merubah konsep diri siswa karena lingkungan sosial ini mempunyai interaksi yang khas dan berpengaruh yang mendalam terhadap pemahaman siswa tentang dirinya.

2. Lingkungan keluarga
Situasi sosial-emosional yang hangat dalam keluarga, menunjukkan aspek positif dari remaja, meredam kelemahan dan memberikan kesempatan menyatakan diri (ide/karya) dan memberi penghargaan. Remaja yang mampu mengekspresikan diri yang berorientasi onternal lebih meudah mengikuti standar bertingkahlaku moral, sehingga mereka dikontrol oleh diri mereka sendiri dalam bertingkahlaku.

3. Lingkungan sekolah
Sekolah dapat mengembangkan konsep diri yang positif dengan para guru menyikapi siswa dengan :
1. Memberikan penguatan Ireinforcement) dan menciptakan situasi belajar yang memberi kesempatan siswa memperoleh penguatan
2. Memberikan sokongan/dukungan dan menciptakan situasi yang menyebabkan keputusan atau kegiatan siswa tersokong atau disetujui
3. Selalu berpikir positif tentang penampilan, prestasi belajar dan permasalahan siswa
4. Menciptakan situasi yang memungkinkan siswa merasa sukses melalui pengalaman belajar yang sukses yaitu beljaar dengan siswa aktif
5. Menghargai usaha siswa melebihi hasil bukan memberikan penghargaan dari apa yang bukan hasil usaha mereka
6. Berusaha mengembangkan bakat dan ketrampilan para siswa sehingga mereka merasa berguna dan berarti.
7. Suka menyokong dan menghargai bukan mencela dan menyalahkan
8. Tidak suka bahkan tidak ingin memberikan penilaian sebelum siswanya memahami dan menguasai berbagai konsep yang diajarkannya
9. Hubungan sosial guru dan siswa yang hangat , bukan mengkritik, mencela atau menghukum
10. Lingkungan sekolah membuat program-program penampilan fisik yang lebih menarik untuk remaja pria dan wanita.
11. Lingkungan sekolah yang menimbulkan perasaan sukses dalam diri setiap siswa dengan berbagai cara
12. Berpikir positif dalam menilai penampilan fisik dan psikis siswa
13. Lingkungan sekolah yang melakukan terapi psikologis, yaitu membicarakan secara rasional perasaan mereka tentang diri mereka sendiri dan menghancurkan irrasional beieve mereka tentang diri mereka sendiri.

Rabu, 22 Juni 2011

TRY OUT PPD

TRY OUT PPD
1. Perkelahian antar remaja ada kaitannya dengan konsep diri, bagaimana kaitan antara konsep diri dan perkelahian remaja?
2. Bagaimana usaha pendidikan utuk membentuk konsep diri remaja yang sehat
3. Uraikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menyimpang bagi para remaja?
4. usaha apa saja yang dilakukan untuk menanggulangi terjadinya perilaku menyimpang oleh pihak sekolah, keluarga dan masyarakat

1. KAITAN KONSEP DIRI DENGAN PERKELAHIAN REMAJA

Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat.

perkelahian pelajar sebenarnya bersumber pada kegagalan mengelola hasil kolaborasi antara kecenderungan agresivitas remaja dengan lingkungan, orangtua, dan konsep diri. Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang.
Konsep diri remaja juga sangat menentukan. Remaja yang mempunyai konsep diri positif, cenderung bersikap optimistis dan percaya diri. Sebaliknya, remaja yang mempunyai konsep diri negatif akan bersikap rendah diri, pesimistis, minder, dan menarik diri dari lingkungan atau komunitasnya.

Konsep diri memiliki beberapa indikator yaitu dimensi pengetahuan diri, harapan pada diri, dan evaluasi pada diri.
Secara teori, agresivitas remaja akan mengarah ke tingkat destruktif bila kualitas lingkungan, kualitas hubungan orangtua, dan konsep diri semuanya negatif.

2. USAHA PENDIDIKAN UNTUK MEMBENTUK KONSEP DIRI REMAJA YANG SEHAT

pengertian konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya.
guru memegang peranan kunci dalam aktivitas kelas, dan karenanya kesadaran guru terhadap pentingnya pembentukan konsep diri akan menentukan seberapa jauh pembentukan konsep diri dapat diintegrasikan ke dalam aktivitas belajar mengajar.
Bagaimanakah aktivitas belajar mengajar dapat menjadi media pembentukan konsep diri? aktivitas kelas yang memungkinkan komunikasi dan partisipasi guru – siswa dan siswa – siswa secara lebih aktif, akan membantu siswa menjadi individu yang terbuka dan menerima diri sendiri dengan lebih baik sehingga memacu pembentukan konsep diri positif, menjadi individu yang lebih mampu “mendengar”, merasakan, menghormati, dan menciptakan komunikasi yang lebih terbuka dengan yang lain.

program pengembangan konsep diri anak dilakukan pada basis yang berbeda, dari mulai kelas, sekolah sampai wilayah. pembentukan konsep diri di dalam kelas dilakukan dengan memberikan tugas berbasis kelompok dan berorientasi kepada pengembangan kemampuan siswa, serta penggunaan umpan balik terhadap kemajuan pembelajaran siswa, dan mengupayakan partisipasi aktif dan komunikasi yang terbuka antara guru – murid – walimurid. Ke semua hal tersebut dilakukan melalui berbagai kegiatan kelas seperti rotasi teman sebangku, pembuatan papan apresiasi siswa terhadap siswa sekaligus pengisian papan pernyataan penyesalan atas kesalahan yang diperbuat siswa terhadap siswa yang lain, pendampingan siswa korban narkoba, pengajaran ketrampilan hidup, Program yang dilakukan secara kontinyu tersebut, menghasilkan perubahan positif dalam diri siswa seperti penurunan angka drop out, peningkatan kehadiran siswa, penurunan kegagalan siswa dalam mata pelajaran, dan meningkatnya rasa kepedulian siswa terhadap lainnya.

Implikasinya dalam pendidikan.
Siapa saya? Mungkin ini menjadi salah satu pertanyaan penting yang harus dijawab sesorang jika ingin maju dan berkembang. Konsep diri merupakan cuatu cara untuk menjawab pertanyaan ini.
Kini, di saat pendidikan menjadi tulang punggung untuk menciptakan individu yang berkualitas, pembentukan konsep diri positif pada anak didik adalah suatu hal yang tak dapat ditinggalkan, yang harus dilakukan secara kontinyu dan menyeluruh pada setiap tahapan perkembangan anak didik. Di luar rumah, aktivitas kelas dan lingkungan sekolah memberikan warna terhadap pembentukan imdividu anak didik, yang dalam prosesnya peran guru adalah sangat vital. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya kesadaran, kemauan dan kreativitas guru untuk mengintegrasikan pembentukan konsep diri yang positif ke dalam kegiatan pembelajaran.

3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MENYIMPANG BAGI PARA REMAJA

Secara garis besar factor-faktor penyebab terjadinya tingkah laku menyimpang dapat berasal dari :

• Keadaan individu yang bersangkutan
 Potensi kecerdasannya rendah,sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan akademik sebagaimana yang diharapkan.Akibatnya ia sering frrustasi,mengalami konflik batin dan rendah diri
 Mempuyai masalah yang tidak terpecahkan
 Belajar cara penyesuaian diri yang salah
 Pengaruh dari lingkungan
 Tidak menemukan figur yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

• Dari luar individu yang bersangkutan
 Lingkungan Keluarga
1. Suasana kehidupan keluarga yang tidak menimbulkan rasa aman(Keluarga broken home)
2. Kontrol dari orang tua yang rendah,yang menyebabkan
3. berkurangnya disiplin dalam kehidupan keluarga.
4. Orang tua yang bersikap otoriter
5. Tuntutan orang tua terlalu tinggi atau tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak.
Kehadirannya dalam keluarga tidak diinginkan,sehingga orang tua tidak menyayanginya.

• Lingkungan Sekolah
1. Tuntutan kurikulum yang terlalu tinggi atau terlalu rendah disbanding kemampuan rata-rata anak yang bersangkutan
2. Longgarnya disiplin sekolah menyebabkan terjadinya pelanggaran peraturan yang ada.
3. Anak-anak sering tidak belajar karena guru sering tidak masuk,sehingga perilaku anak tidak terkontrol
4. Pendekatan yang dilakukan guru tidak sesuai dengan perkembangan remaja
5. Sarana dan prasarana sekolah kurang memadai,akibatnya aktivitas anak jadi terbatas.

• Lingkungan Masyarakat
1. Kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam membelajarkan anak atau mancegah pelanggaran tata tertib sekolah
2. Media cetak dan media elektronik yang beredar secara bebas yang sebenarnya belum layak buat remaja,misalnya berupa gambar porno,buku cerita cabul.
3. Adanya contoh/model di lingkungan masyarakat yang kurang menguntungkan bagi perkembangan remaja, misalnya main judi, minuman keras dan pelacuran

4. USAHA APA SAJA YANG DILAKUKAN UNTUK MENANGGULANGI TERJADINYA PERILAKU MENYIMPANG

Penyimpangan perilaku remaja atau siswa tidak hanya merugikan dirinya dan masa depannya,tetapi juga orang lain dan memusnahkan harapan orang tua,sekolah dan bangsa.oleh karna itu diperlukan tindakan nyata agar tingkah laku yang menyimpang tersebut dapat diatasi.usaha tersebut dapat bersifat pencegahan(peventif), pengentasan(currative), pembentulan (corrective), dan penjagaan atau pemeliharaan (preservative).

usia remaja, usia mencari identitas dan eksistensi diri dalam kehidupan di masyarakat. Dalam proses pencarian identitas itu, peran aktif dari ketiga lembaga pendidikan akan banyak membantu melancarkan pencapaian kepribadian yang dewasa bagi para remaja.
Pertama, memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog untuk menyiapkan jalan bagi tindakan bersama. Sikap mau berdialog antara orangtua, pendidik di sekolah, dan masyarakat dengan remaja pada umumnya adalah kesempatan yang diinginkan para remaja. remaja membutuhkan akan nasihat, pengalaman, dan kekuatan atau dorongan dari orang tua.
Kedua, menjalin pergaulan yang tulus.
Ketiga, memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejati. perlu dipahami bahwa setiap individu memerlukan rasa aman dan merasakan dirinya dicintai. Dengan usaha-usaha dan perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta yang tulus, dan sikap mau berdialog, maka para remaja akan mendapatkan rasa aman, serta memiliki keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan pendapatnya.
Lewat kondisi dan suasana hidup dalam keluarga, lingkungan sekolah, ataupun lingkungan masyarakat seperti di atas itulah para remaja akan merasa terdampingi dan mengalami perkembangan kepribadian yang optimal dan tidak terkungkung dalam perasaan dan tekanan-tekanan batin yang mencekam.
Pertama, aspek pendidikan formal/lingkungan sekolah.
Pendidikan yang lebih menekankan kepada bimbingan dan pembinaan perilaku konstruktif, mandiri dan kreatif menjadi faktor penting, karena melatih integritas mental dan moral remaja menuju terbentuknya pribadi yang memiliki daya ketahanan pribadi dan sosial dalam menghadapi benturan-benturan nilai-niai (clash of value) yang berlaku dalam lingkungan remaja itu sendiri berikut lingkungan sosialnya.
Kedua, aspek lingkungan keluarga, jelas memberi andil yang signifikan terhadap berkembangnya pola perilaku menyimpang para remaja, karena proses penanaman nilai-nilai bermula dari dinamika kehidupan dalam keluarga itu sendiri dan akan terus berlangsung sampai remaja dapat menemukan identitas diri dan aktualisasi pribadinya secara utuh.
Ketiga, aspek lingkungan pergaulan Hal ini menyangkut keinginan akan pengakuan keberadaan remaja dalam kelompok. Maka, perlu diciptakan lingkungan pergaulan yang kondusif, agar situasi dan kondisi pergaulan dan hubungan sosial yang saling memberi pengaruh dan nilai-nilai positif bagi aktifitas remaja dapat terwujud.

Keempat, aspek penegakan hukum/sanksi. Ketegasan penerapan sanksi mungkin dapat menjadi shock teraphy (terapi kejut) bagi remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang. Dan ini dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, kepolisian dan lembaga lainnya.
Terakhir, aspek sosial kemasyarakat. Terciptanya relasi-relasi sosial yang baik dan serasi di antara warga masyarakat sekitar, akan memberi implikasi terhadap tumbuh dan berkembangnya kontak-kontak sosial yang dinamis, sehingga muncul sikap saling memahami, memperhatikan sekaligus mengawasi tindak perilaku warga terutama remaja di lingkungannya