kebiasaan saya di usia 20-an, selalu rajin bahkan mensakralkan kebiasaan menulis resolusi, evaluasi, pengharapan dan impian, Tahun baru kali ini saya tak berbekalkan apa-apa. Tak ada resolusi, tak ingin mengevaluasi. Harapan dan impian, yang biasanya kita bawa layaknya tongkat estafet dalam pacuan panjang bernama hidup , kali ini bahkan absen dari tangan saya. Cengkeraman jemari saya rasanya tak cukup kuat untuk itu. Bukannya kedua hal itu tak ada, tapi malas rasanya menggenggam. Yang ada hanyalah langkah demi langkah kaki di jalanan berbatu, bertemankan suara gesekan ilalang dan terik matahari yang kian menggigit tengkuk.
Akhirnya saya mendapatkan sebuah ‘pesan’. Terlepas dari kepercayaan kita pada sosok Tuhan personal maupun impersonal, semua dari kita setidaknya pernah merasakan hadirnya sebuah kekuatan, energi agung, atau apapun itu, yang tak luput menemani setiap langkah perjalanan hidup kita. Saat kita asyik berjalan, mengumpulkan segala sesuatu yang kita ingin raih, kita tak terlalu menghiraukan kehadiran ‘sesuatu’ itu. Namun saat kita tergelincir dan terenyak luar biasa, segala sesuatu yang kita cengkeram pun lepas. Tangan kita kembali kosong. ‘Sesuatu’ itu akhirnya punya kesempatan untuk muncul dan menyeruak, meraih tangan kita yang sedari tadi sibuk menggenggam. Lama atau sekejap kita didekap, selama perjalanan ini belum usai, tak urung kita akan kembali melangkah. Mengumpulkan kembali pengalaman demi pengalaman yang kita perlukan.
saya merenungi ‘batu-batu’ yang selama ini saya genggam. Besar-kecil, jelek-bagus, semua itu saya kumpulkan karena itulah yang saya perlukan. hidup adalah siklus berputar dalam satu pusaranJalanan berselimut batu, yang meski begitu sering saya jalani, tak pernah saya tahu batu mana yang akan saya genggam berikutnya, dan batu mana yang akan saya lepas sesudah ini. Tak pernah juga saya tahu, kapan saya akan tergelincir dan terpaksa melepaskan semua yang selama ini erat digenggam.
Sekalipun tahun baru ini saya songsong tanpa resolusi dan evaluasi, ada satu keyakinan yang mengiringi langkah saya. Jika batu dalam genggaman tangan saya lepas, berarti sudah saatnyalah ia lepas. Jika perjalanan ini belum usai, maka kaki ini—meski lelah dan penat—akan kembali terus melangkah. Jika saya tergelincir nanti, maka sesuatu akan menyeruak muncul dari kekosongan, meraih tangan saya yang hampa dan kembali membawa saya bangkit berdiri. Saya tak ingin memberinya nama. Saya tak ingin menjeratnya dalam sebuah identitas. Yang saya tahu, saya bersisian dengannya.
Sedikit batu atau banyak batu, melangkah cepat atau lambat, tergelincir atau terjerembap, ia berjalan seiring dengan napas dan denyut saya. Ia membutuhkan saya sama halnya dengan saya membutuhkannya. Dan hanya dalam keheningan, kami berdua hilang. Dalam keheningan, kami bersatu dalam ketiadaan.
hari ini menjadi hari yang sama berharganya sekaligus sama biasanya dengan hari-hari lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar